Sabtu, 14 September 2019

TUHAN SUDA LAMA PERGI, DIA DILUPAKAN DAN TIDAK DIHARAPKAN

TUHAN SUDA LAMA PERGI,
DIA DILUPAN DAN TIDAK DIHARAPKAN
(intropeksi diri dan kesadaran sosial)


Oleh:
Aton Bagaskara Jafar

Agama dibutuhkan sebagai pegangan hidup, yang menjadi ajaran dan akidah dalam kehidupan dan menjanjikan hidup di dunia lain yang abadi. Dunia yang kita tempati sekarang ini sebagai tempat persinggahan untuk menebar kebaikan dan menghindari berbuat jahat agar mendapat balasan sesuai yang di janjikan oleh Tuhan.
Berbicara tentang Tuhan dan dunia lain setelah kehidupan di dunia saat ini bisa dibicarakan oleh semua orang yang telah memiliki kesadaran. Walaupun dapat dibicarakan oleh semua orang, bukan berarti telah menunjukan kualitas dan tingkat keimanan yang tinggi. Saya berspekulasi bahwa diantara banyaknya orang yang beragama suda tidak takut kepada Tuhannya, karena suda tidak ada rasa takut untuk meninggalkan sholat dan melakukan apa yang dilarang dan meninggalkan apa yang diperintah. Ini menunjukan manusia yang mengaku beragama suda mulai melempaskan diri dari hubungannya dengan Tuhan, sehingga agama hanya sebagai simbol komunitas belaka yang miskin nilai dan praktek dalam mengiplementasikan apa yang diajarkan.
Orang yang beragama menjadikan apa yang dipercayainya sebagai sandaran dan pengangan dalam kehidupan, namun kepercayaan ini suda terbagi. Yang meyebabkan pelaksanaan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama saling tumpang tindih dengan kepercayaan lain yang berkembang dalam masyarakat. Diwaktu lain berdoa kepada Tuhan memohon perlidungan, dimudahkan reziki dan kesehatan, diwaktu yang lain meminta perlindungan, reziki dan kesehatan ditempat yang lain pula.
Eksistensi Tuhan mulai tersingkir, kita mulai suda tidak takut dan tidak membutuhkan Dia lewat sikap dan perbuatan kita sehari-hari. Apa yang diperbolehkan olehNya menjadi larangan dalam kepercayaan yang lain. Atau kita mengabaikan apa yang diperitahkanNya demi kesenangan dan ketenagan yang kita pilih.
Kita tahu kalau kita berpegang pada dua keyakinan atau lebih, entah kita sadar atau tidak kalau keyakinan yang satu mengingkari keyakinan yang lainnya; tidak dibenarkan untuk mempercayai susuatu selain Tuhan [musrik]. Namun dalam kehidupan hal ini berjalan secara normal tanpa saling mengingatkan. Suda menjadi sesuatu yang wajar, sehingga berpegang pada dua keyakinan atau lebih telah dilakukan oleh orang banyak. Kita secara perlahan mulai menyingkirkan posisi Dia secara bersamaan dengan meyakini yang lain bisa memberikan reziki, kesehatan dan lain-lain. Sementara Dia suda lama tidak memberikan sentuhan, kita seperti dibiarkan tersesat di alam raya, berdoa kepadaNya tidak kunjung dikabulkan.

Selasa, 10 September 2019

Cerita Rakyat Sumpah "bourefen"

CERITA RAKYAT SUMPAH BOU-RE-FEN

Hasil percakapan dengan mama (Siti Fabanyo)
Oleh: Aton Bagaskara Jafar

Dulu daging babi dan kura-kura adalah makanan khusus untuk Tuhan yang dipercaya sebagai makanan paling enak.
Pada satu waktu ada acara besar yang dibuat oleh masyarakat, diacara itu akan dihadiri juga oleh Tuhan, sehingga disediakan makanan berupa daging babi dan kura-kura, sebagai makanan istimewa yang dipersembahkan kepada Tuhan. Acara berlangsung dengan meria dan berbagai hidangan disediakan. Namun saat acara berlangsung Tuhan tidak kunjung tiba, susana menjadi tegang dan kacau. Sebagaian masyarakat mulai menganggap bahwa Tuhan tidak akan datang dan bertanya-tanya “bagaimana dengan makanan yang dipersembahkan untuk Tuhan?”. Pertanyaan itu mempengaruhi pikirang dan nafsu setiap orang untuk merebut makanan daging babi dan kura-kura. Suasana tidak terkendali, setiap orang saling merebut daging babi dan kura-kura.
Saat daging babi dan kura-kura suda habis dimakan barulah Tuhan datang. Babi dan kura-kura sangat menyesel daging mereka tidak dimakan oleh Tuhan, maka mereka memohon dengan permohonan yang belum perna dilakukan oleh mahluk lain, berbagai usaha dilakukan untuk mendapat rihdo dan izin agar daging mereka dihalalkan.
Permohonan mereka diterima oleh Tuhan agar dihalalkan. Cuman dengan beberpa ketentuan, yakni bagian dari kura-kura yang dihalalkan hanyalah telurnya, dan babi sebagian dagingnya dipindahkan ke kaki ayam.
Di Bicoli, Kec. Maba Selatan Kab. Halmahera Timur. Jika ada hajatan dan untuk membacakan doa dan zikir yang dilalukan seperti tahlilan dan kalau menggunkan kaki ayam akan dibuka sedikit daging pada kaki ayam itu. Karena diyakini itu daging babi yang diletakkan oleh Tuhan.
Dan babi dalam bahasa Bicoli disebut bou dan kata penghubung “dan” adalah re sementara kura-kura adalah fen. Sehingga kata bou-re-fen berarti babi dan kura-kura.
Kalimat bourefen menjadi kalimat yang digunakan untuk menunjukan keseriusan seseorang dalam berucap. Ini digunaakan dengan menyampaikan kata bourefen di awal kalimat baru disesul dengan kalimat penegasan.
Contonya seperti saat anak meminta uang kepada ibu, dan ibu  menjawab dengan kalimat “bou re fen anik seng pa” artinya “babi dan kura-kura aku tidak mempunyai uang”. Kalimat ini bukan mengejek dengan mengatakan anak atau ibu mirip babi dan kura-kura, malainkan keseriusan dari ibu untuk menegaskan bahwa dia memang tidak mempunyai uang.
Menggunakan kalimat bourefen dalam ucapan adalah penegasan untuk menunjukan keseriusan dari yang bersangkutan yang di umpakan seperti keseriusan babi dan kura-kura dalam memohon sampai Tuhan mengabulkan permohonan mereka. Sehingga kalimat bourefen selain bentuk penegasan juga mengandung makna keseriusan.

Jumat, 16 Agustus 2019

PEREMPUAN DALAM KEMERDEKAAN INDONESIA

PEREMPUAN DALAM KEMERDEKAAN INDONESIA
(Sebuah refleksi menjemput HUT Kemerdekaan Indonesia ke 74)
OLEH
Karsila Hayat


Sekretaris Umum KOHATI HMI Komisariat STKIP KIERAHA TERNATE


Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia banyak peristiwa-peristiwa penting yang melatar belakangi kemerdekaan Indonesia, namun peristiwa dalam menjelang  kemerdekaan Indonesia bukanlah peristiwa yang membahagiakan melainkan terjadi gejolak serta tragedi berupa pertumpahan darah, bahkan banyak pahlawan yang gugur di medan perang. Harta, istri bahkan anak-anak menjadi sasaran para penjajah pada saat itu. Terlepas dari itu sejarah harus mengakui kontribusi serta peran perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Terbukti bahwa perempuan telah menorehkan tinta emas dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, hal ini di lihat dari peran  beberapa tokoh perempuan Indonesia yang pada saat itu tidak kalah dalam siklus pergerakan sosial dalam masyarakat, dan selalu memiliki peran serta posisi strategis bahkan para pemimpin nasionalis Indonesia kaum laki-laki mengakui dukungan perempuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia inilah deretan para pejuang perempuan yang turut melawan penjajahan Belanda dimasa itu.
        Mereka adalah tokoh perempuan yang turut serta dalam memperjuankan kemerdekaan Indonesi meski masih banyak  diantara mereka tidak sempat tercatat. HR Rasuna Said, seorang orator pejuang kemerdekaan Indonesia. Dia adalah sala satu wanita pemberani yang sering mengecam kekejaman dan ketidakadilan pemerintah Belanda, beliau pernah di penjara pada tahun 1932,RA. Kartini, siapa yang tidak kenal dengan beliau, seorang pelopor kebangkitan perempuan pribumi serta tercatat sebagai seorang pelopor yang mendirikan sekolah wanita, ia berkeinginan untuk memajukan perempuan pribumi karena melihat kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada di status sosial rendah. Semangat dan keinginan Kartini membuat perempuan Indonesia bisa berpendidikan sampai pada saat ini,Cut Nyak Dien, perempuan hebat yang pernah melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda setelah kematian suaminya pada tahun 1878.Kematian suaminya membuat beliau berjanji akan menghancurkan Belanda,Dewi Sartika, pernah membangun sekolah perempuan pertama se Hindia-Belanda untuk membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan yang tidak ada bedanya dengan laki-laki,Martha Cristina Tiahahu, adalah perempuan asal Maluku (Ambon) yang pemberani dalam peperangan mendampingi ayahnya pada pertempuran di Pulau Nusa Laut maupun di Saparua, beliau ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan,Nyai Ahmad Dahlan, yang selalu mendampingi sang suami dalam mengembangkan organisasi Muhammadiyah di Bayuwangi beliau juga pernah memimpin kongres Aisyiah di Surabaya. Kepemimpinannya dalam memimpin kongres besar membuat masyarakat kagum. Presiden Ir. Soekarno dan panglima besar Soedirman sering mengunjunginya untuk bertukar pikiran mengenai situasi perjuangan pada saat itu,Nyi Ageng Serag, ketika perang di Ponegoro meletus beliau ikut bergabung dengan pasukan di Ponegoro melawan Belanda. Beliau juga di angkat menjadi penasihat pasukan di Ponegoro,Fatmawati, adalah salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan nasional dalam perjuangan bangsa Indonesia. Fatmawati yakin Indonesia akan merdeka olehnya itu dengan keyakinanya belia menjahit Benderah Merah Putih dan bendera yang di jahit di kibarkan saat proklamasi kemerdekaan serta Laksamana Malahayati, beliau adalah pahlawan perempuan yang membentuk pasukan janda prajurit Aceh yang gugur dalam peperangan melawan armada Portugis.
Dalam posisi serta peran beberapa tokoh perempuan Indonesia di atas dapat di lihat betapa pentingnya posisi perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan, mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Mahatma Gandhi “banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan para perempuan kita” bahwa dalam sisi pergerakan, perempuan tidak bisa di batasi dalam ruang pablik perempuan juga harus mengambil posisi strategis sebab, laki-laki bahkan perempuan mempunyai kebebasan yang sama kebebasan untuk berekspresi, berpendapat, berargumentasi serta kebebasan untuk berjuang demi menciptakan serta menyatukan ideologi yang gemilang.
Dalam hal ini Ir.Soekarno tokoh politik utama pada zaman itu menguraikan pandanganya tentang konstribuisi perempuan. Ir soekarno Menyatakan bahwa Intres perempuan hanya dapat terpenuhi didalam fase sosial yang akan datang setelah fase nasional. Untuk mempercepat datangnya sosialisme perempuan harus  “ikut serta  multlak sehebat-hebatnya dalam revolusi kita ini” (Sukarno 1963:248). Sebaliknya kaum laki-laki harus sadar, bahwa mereka tidak dapat berhasil tanpa kaum perempuan. Laki-laki harus sama sekali mendidik diri sendiri, karena bahkan dikalangan kaum sosialis pun ”penyakit patriarki jiwa Tuan itu masih bertahan” (Sukarno 1963:254).
Namun perlu di perhatikan, sekalipun Sukarno memandang perempuan sangat di perlukan untuk revolusi, tetapi kesetaraan mereka harus di bawah pengawasan laki-laki dan lebih khususnya lagi bagi diri sendiri. Artinya meraka harus sama-sama berperan, tetapi tidak dengan pengertian sama atau dengan kondisi yang sama (Saskia Elonara Wieringa 1999:161). Melihat beberapa pandangan yang di jelaskan oleh Bung karno serta Mahatma Gandhi  menjadi satu respon positif dalam melanjutkan cita-cita perjuangan perempuan Indonesia.
Selain itu lain lagi dengan realitas kehidupan perempuan pada saat ini. Melihat dinamika serta mencermati gaya hidup perempuan zaman sekarang atau bahasa tren saat ini bisa di kata zama now, dalam status gaya hidup perempuan telah mengalami krisis semangat perjuangan atau mengalami kemunduran, asumsi ini di lihat dari fakta hidup perempuan pada saat ini. Fashion stayle menjadi prioritas perempuan pada umumnya. Stayle selalu di kedepankan dan bahkan telah menjadi kebiasaan yang paling urjen di kalangan perempuan. Di tengah-tengah kehidupan sosial, perempuan lebih sibuk bergaya di bandingkan berprestasi hingga pada rana pablik perempuan paling sedikit telihat di bandingkan laki-laki.
Menyimak tren gaya hidup anak mudah saat ini khususnya kaum perempuan, setiap saat selalu mengalami peningkatan. Baik dari segi hair (gaya rambut), fashion stayle (gaya berpakaiyan), make up (berdandan) dan sebagainya. Itu semua di lakukan demi terlihat menarik dan cantik di hadapan orang lain terlebih lagi bagi lawan jenisnya. Ditengah kehidupan masyarakat sosial, gaya hidup yang demikian bukan wacana baru apalagi harus gempar di perbincangkan justru malah sebaliknya bagi mereka anak mudah yang tidak pandai menjaga penampilan akan terlihat serta dianggap kurang pergaulan (Sriwahyuni Tamrin, Perempuan dan peran sosial politik 9:2019). Ini menjadi salah satu fakta sejarah pada saat ini bahwa perempuan pada umumnya telah mengalami satu kemunduran dalam sisi perjuangan jika di lihat dari peran dan semangat para tokoh perempuan terdalulu.
Maka menjelang HUT kemerdekaan Indonesia ke 74 ini, sengaja merumuskan kembali betapa pentingnya sejarah serta peran dan konstribusi perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ini sengaja di ulas kembali agar menjadi satu pembelajaran dan  motivasi untuk perempuan Indonesia pada umumnya, karena perempuan sering terabaikan dalam sejarah perjuangan dan pembangunan bangsa Indonesia dalam buku-buku sejarah, lebih banyak dikenal tokoh-tokoh pahlawan laki-laki dibandingkan perempuan sehingga jangan herang kalau peran perempuan yang paling di ingat dalam terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia palingan hanya Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, dan Dewi Sartika. Mereka diyakini memiliki pengaruh yang besar dalam perjuangan bangsa Indonesia. Jika di bandingkan dengan tokoh pahlawan laki-laki, dan saat itu pula ingatan akan membentuk konstruksi peran pahlawan laki-laki sangat besar dalam pembentukan sejarah bangsa dibandingangkan dengan sejarah dan peran perempuan.
Di lihat dari contoh perjuangan Nyai Ontosoroh yang tidak tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Bukan saja karena ia merupakan tokoh fiktif, tetapi juga karena ia merupakan seseorang yang terlupakan dalam sejarah, Nyai Ontosoroh adalah tokoh dalam novel Bumi Manusia, satu dari empat karya Pramoedya Ananta Toer yang dinamai sebagai karya tetralogi Pulau Buru. Ia adalah perempuan dari masyarakat bawah yang memberikan citra yang jelas atas posisinya dalam strata sosial Jawa. Selain itu ia adalah perempuan yang masih dimarginalisasi dalam strata sosial masyarakat Jawa yang patriarkhi, terlebih dalam iklim kolonialisme.
Dari perjuangan beberapa tokoh perempuan diatas, dapat kita jadikan inspirasi serta motivasi dalam perjuangan, sebab perempuan dan perjuangan adalah dua kata yang tak bisa di lepas pisahkan karena bangsa yang besar akan berdiri jika para perempuan mampu bangkit dan mentransferkan nilai-nilai positif dalam perjuangan, untuk keluarga serta kepada generasi penerus bangsa. Bahkan ini harus menjadi sprit bagi kaum perempuan saat ini bahwa di jaman milenial yang kita hadapi sekrang, perempuan memang betul-betul di tampar dengan beberapa tanparan psikologi yang menyayat jiwa, ada bahasa-bahasa sindiran yang sering menjadi trending topik bahwa tempat perempuan itu di sumur, kasur dan di pasar maka dari bahasa-bahasa yang memarjinalkan posisi perempuan itu saya mencoba mengaitkan dengan bukunya Saskia Elonora Wieringa yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia yang mengatakan bahwa “gerakan perempuan dapat di lihat sebagai spekrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif secara sadar dan tidak sadar”.
Untuk itu dari beberapa pejuang perempuan diatas yang namanya diabadikan dalam sejarah,harus menjadi panutan dan semangat mereka dapat diwarisi oleh perempuan-perempun Indonesia saat ini. Di usia bangsa Indonesia yang semakin tua ini peran perempuan harus mampu memberika berbagai macam kejutan untuk bangsa ini. Sebab transformasi peningkatan pengetahuan harus selalu di bentuk, di pupuk dan di rawat agar mampu melahirkan generasi yang membanggakan bukan generasi yang memalukan, sebab pesatnya ilmu pengetahuan memaksa kita untuk berpikir.
Perempuan sudah harus mampu berpikir untuk merubah paradigma baru yang kritis, harus mampu berpikir untuk menciptakan gagasan kritis  sehingga dapat melahirkan generasi yang progres serta militan karena perkembangan zaman yang kita hadapi sekarang susah untuk menghadirkan solusi jika kita hanya mengandalkan kosmetik-kosmetik, fashion stayle yang memanjakan tubuh sudah saatnya perempuan menyatukan ide, serta gagasan agar sama-sama bangkitkan semangat dalam mengisi kemerdekaan Indonesia yang telah di perjuangkan oleh para pahlawan terdahulu, sebab sekarang perjuangan kita tak lagi mengangkat senjata utuk berperang, tak lagi harus menumpahkan darah di medan perang, hanya sajah bagaimna keterlibatan kita dalam sisi perjuangan untuk mengisi hadiah kemerdekaan yang telah di berikan oleh seluruh pahlawan Indonesia.

Senin, 12 Agustus 2019

WOSO SENTRAL PERTAHANAN DAN PEMERINTAHAN DI ABAD 19

WOSO SENTRAL PERTAHANAN DAN PEMERINTAHAN DIABAD 19

(Menyambut hari kemerdekaan Indonesia ke 74 tahun)

Oleh
Aton Bagaskara Jafar
Mahasiswa CIVIC HUKUM PIPS-PKn FKIP UNKHAIR

Woso adalah daerah perbukitan disekitar desa Bicoli Kabupaten Halmahera Timur yang jaraknya dua kilo meter dari pantai. sekarang Bicoli dalam sebutan bahasa derah disebut Woso, dengan begitu Woso sudah berarti Bicoli. Sedangkan daerah perbukitan yang menjadi tempat pertahanan dan pemerintahan secara eksplisit dalam bahasa daerah disebut lolos soso, lolos yang berarti gunung atau bukit. Sementara soso dan Woso berasal dari kata fowos yang berarti pelarian.

Didalam disertasi Prof. Dr. R. Z. Leirissa (1996:184) dikatakan Woso terletak agak tinggi diperbukitan tetapi berdekatan sekali dengan Bicoli yang merupakan  pelabuhan utama di distrik Maba.

Zainalabidin di Woso diperkirakan pada tahun 1808. Munculnya negeri Woso sebagai pusat kekuasaan baru di distrik Maba dengan sangaji sendiri merupakan pergeseran yang cukup penting di wilayah Maba.

Disekeliling Woso Zainalabidin membangun beberapa perbentengan tradisional berupa tembok lurus kira-kira setinggi dada terbuat dari batu karang dan dilapisi semacam perekat terbuat dari kapur hasil bakaran kerang, terdapat tidak kurang tiga  benteng serupa itu, dan sebuah benteng lagi ke arah laut. Salah satu diantara benteng-benteng itu dijaga oleh pasukan yang dilengkapi dengan sebuah rumah dan meriam kaliber 1 pon (1996:184)

Perbentengan di Woso-Bicoli perna mengalami kemunduran karena berjangkitnya penyakit cacar yang mengakibatkan banyak orang meninggal dunia. Selain itu terjadi bahaya kelaparan karena kekurangan beras dan jagung, disebabkan selama peperangan dan pembangunan benteng-benteng, penduduk tidak sempat mengurusi kebun, sedangkan sagu sangat kurang disekitar Woso/Bicoli. Namun keadaan pulih kembali sehingga ekspedisi yang dikirim pada bulan maret 1809 tidak berhasil mengalahkan Woso. Ekspedisi ini gagal dan ditarik kembali pada bulan Juni karena sebagian kontingen Galela membangkang dan menolak turut menyerang dalam serangan terakhir, alasan mereka Woso terlalu kuat (1996:186).

Benteng dan persenjataan di Woso sanggup menahan serbuan pasukan Ternate yang diperkuat dengan pasukan Belanda. Selama  enam bulan Herder menyerang Woso sebanyak empat kali tanpa berhasil. Akhirnya pasukan itu terpaksa mundur karena kontingen Ternate menolak meneruskan pertempuran. Demikian pula ekspedisi kedua yang dilakukan tahun 1808 yang dipimpin kapten  Heyes selama beberapa bulan akhirnya mundur dibulan Oktober karena Halmahera dan Ternate menolak meneruskan perang (1996:182).

Negeri Woso yang demikian kuat sistem pertahanannya itu berfungsi sebagai pusat kekuasaan Zainalabidin di Halmahera Timur dalam rangka memperjuangkan kedudukannya di kerajaan Tidore, atau seperti tertera dalam surat para bobato negeri Woso tertanggal 16 Februari 1809, “negeri Tidore ada di Woso”. 

Pada tahun 1808 Sangaji Patani dan sangaji Weda dengan kapten Herder mengerahkan penduduk Patani dan Weda menebang pohon pala disekitar hutan Waci dan Gotowasi. Zainalabidin tidak terimah dengan penebangan pohon pala itu maka dalam bulan Mei ia mengadakan serangan ke Patani. Serangan pertama dilakukan awal bulan itu dengan 18 kora-kora dengan persenjataan satu pucuk meriam rantak dan 11 pucuk senapan serta 120 butir puluru dan serbuk mesiunnya. Negeri Patani ketika itu dibakar dan penduduknya melarikan diri ke hutan. Ketika itu Sangaji Sahusen Kapitan Laut Naimuddin bersama 28 orang Patani lainnya cedera dan dua bobato lainnya serta dua orang biasa gugur. Sangaji Sahusun lalu menyurat ke Weiling minta bantuan. Namun, Belanda hanya mengirim dua meriam kecil kaliber setengah pon dan 10 butir pelurunya. Selain itu Kapitan Laut Weda diperintahkan untuk mengerahkan penduduk Weda membantu Patani (1996:188).

Pada awal Agustus Zainalabidin memerintahkan armadanya yang berkekuatan 16 kora-kora dengan pimpinanan Sadaha Hadi menyerang Patani untuk kedua kalinya. Sangaji Sahusen dan Kapitan Laut Naimuddin serta bekas Sangaji Mancari tertangkap. Serangan ini dilakukan secara mendadak ketika Kimalaha Dewara mengadakan selamatan untuk penduduk negeri Patani. Armada Woso bergerak dari pulau Sagaf, orang yang sedang berpesta lari ke pegunungan. Sambil menunggu bantuan dari Ternate, Sahusen, dan Naimuddin berusaha mengobarkan semangat penduduk untuk melawan. Namun armada Woso terus memblokade Patani sehingga timbul bahaya kelaparan. Akibat blokade ini penduduk berangsur-angsur turun dari pegunungan dan menyerahkan diri kepada armada Woso. Mereka kemudian diangkut ke Woso sebagai tawanan. Juga Sahusen, Naimuddin, Mancari, Kimalaha Omrot Tapileu diangkat sambil dirantai ke Woso. Kemudian Sangaji Mancari yang dianggap biang keladi kerjasama Patani dan Belanda dihukum mati oleh Zainalabidin. Sahusen dan Naimuddin bisa bebas karena sanggup menebus dirinya; Sahusen menyerakan 10 budak dan sebuah gelas emas, dan Naimuddin menyerahkan 54 budak dan sebuah rantai emas kepada Zainalabidin (1996:189).

Sehingga ketika armada Ternate dengan pemimpin Jugugu Muda Patisarangan tiba di Patani, negeri itu telah kosong. Armade Ternate kemudian menyerbu Woso dan berhasil membebaskan Kimalaha Omrot Tapileu serta sejumlah penduduk Patani. Sebagian dari penduduk Patani diharuskan berdiam di Weda menunggu keadaan aman, Weda pun diperkuat dengan pimpinan Kimalaha Wastur yang diberi sejumlah senjata. Tidak lama kemudian Weda mengalami Musibah pula. Zainalabidin terus berusaha mempengaruhi penduduk Weda untuk memihak padanya. Untuk itu ia menggunakan Sangaji Pulau Gebe, Kacipel, dan Kimalaha Sanafi, juga dari Gebe serta seorang juru tulisnya yang bernama Tukangmas. Para utusan tersebut bertemu dengan perahu Kapitan Laut Lukman di Tanjung Kiat. Kedua bobato Gebe tersebut turun berbicara dengan Lukman, mereka mengajak para bobato Weda ke Woso dan kemudian bersama Zainalabidin ke Ternate untuk menuntut agar Belanda mensahkan Zainalabidin sebagai Sultan Woso (1996:190).

Selasa, 19 Maret 2019

FAGOGORU DAN SENGKETA TAPAL BATAS HALTIM-HALTENG


FAGOGORU DAN
SENGKETA TAPAL BATAS HALTIM-HALTENG
Oleh:
Aton Bagaskara Jafar
Sekretaris Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bicoli

Fagogoru berarti kasih sayang atau dalam sebuatan hari-hari bakusayang. Kata fagoguru merupakan warisan leluhur Maba, Patani dan Weda yang menjadi spirit moral dalam pergaulan sosial. Kata fagogoru juga dapat dianggap sebagai warisan leluhur yang cemerlang dan menjadi instrumen kita untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang cukup besar yang merangkul dari Maba sampai Weda.
Kata fagogoru sepadan dengan kalimat “sopan re hormat, ngaku rasai budi re bahasa” yang disingkat SANGRABUBA yang menjadi moto Desa Bicoli yang tertulis rapih di batas desa Bicoli dan Kasuba dengan kalimat “Woso SANGRABUBA”. Kalimat sopan re hormat menjadi spirit pergaulan yang menata hidup sarat dengan nilai-nilai moral dan etika, dan kalimat ngaku rasai budi re bahasa membuat kita lebih emosional dan memiliki rasa empati antar sesama, sehingga menata perlakuan dan bahasa terhindar dari yang tidak baik. Kalimat Sangrabuba suda familiar di negri Gamrange dan kemungkinan merupakan turunan dari semangat Fagogoru yang di wariskan oleh leluhur Maba, Patani dan Weda.
Semangat Fagogoru dan Sangrabuba sekarang hilang dan tergadaikan dengan persoalan batas antara Haltim dan Halteng;  Bicoli dan  Sakam/Piniti. Masalah tapal batas suda muncul sejak awal pemekaran hingga sekarang ini.
Masalah tapal batas pernah memancing reaksi masyarakat Bicoli sehingga digerakkan dua belas perahu giop penuh dengan manusia yang diberangkatkan ke Sakam, dan isu Bupati Rudi menandatangani kesepakatan batas Kabupaten yang berakhir pada pengrusakan kantor Bupati Haltim pada tahun 2015 lalu, dan masi ada beberapa rentetan peristiwa yang ikut mewarnai masalah tapal batas Haltim-Halteng.
Dalam sengketa tapal batas Haltim-Halteng, masyarakat Bicoli menjadi energi penggerak utama dalam mempertahankan tapal batas Haltim karena didasari oleh sejarah dan kepemilikan tanah, yang semangat ini menjadi perhatian dan aspirasi yang kemudian di perjuangkan oleh pemerintah Kabupaten Haltim.
Berdasarkan sejarah bahwa batas Peniti dan Bicoli adalah di kali Get, kali Get ini dinamkan oleh orang Bicoli yang berarti sempit karena perahu kora-kora tidak bisa masuk kedalam, catatan sejarah ini tertulis pada surat kesepakatan batas yang ditanda tangani oleh kepala Desa Peniti dan Desa Bicoli yang saat itu kepala desa Bicoli masi dipimpin oleh Bapak Hi. Ishak Karim yang surat itu kemudian disimpan oleh Sangaji Bicoli Almarhum Muhammad Ceba, dan soal kepemilikan tanah itu suda diperkuat dengan dimekarkan Desa Sowoli yang tidak jauh dengan kali Get dengan desa induk desa Bicoli.
Batas Haltim-Halteng ini mendapat perhatian dari Sultan Tidore, dan Sultan Tidore menempatakan di Sakakube (sekitar kali Get), hal ini mendapat dukungan dari masyarakat Bicoli karena meletakaan posisi batas pada batas yang sudah ada sebelumnya. Namun terjadi perbedaan pemahaman ketika pemerintah Provinsi Maluku Utara menentukan batas Haltim dan Halteng di Nyenyendono.
Dua keputusan ini tidak mengahiri masalah batas Haltim-Halteng karena terdapat dua keputusan yang berbeda.
Sekarang setelah ada Keputusan Mentri Dalam Negri Nomor 84 tahun 2018 tentang Tapal batas Haltim-Halteng yang menempatkan batas Haltim-Halteng di Sakakube pemerintah Halteng tidak terima, sebagaimana yang tertulis dalam media online koridorzine.com yang berjudul Pemkab Halteng tolak Permendagri tapal batas, bahwa Pemkab Halteng akan gugat ke PTUN; “Muhammad Konoras yang akan menjadi kuasa hukum pemda, kalau sudah berkordinasi dan sudah siap secepatnya akan mengguat ke PTUN” ujar Bupati Edi Langkara.
Pemerintah Halteng beranggapan bahwa penempatan ini tidak sesuai dengan UU No 1 tahun 2003 tentang pemekaran Kabupaten Haltim-Halteng dan beberapa kabupaten lainnya di Maluku Utara.
UU No 1 Tahun 2003 jika dibuka tidak ada pasal yang menjelaskan secara jelas posisi batas itu berada. Terus dalil penempatan batas Haltim-Halteng di Sakakube tidak sesuai dengan UU No 1 Tahun 2003 itu pasal berapa? Dan kalau gugatan yang nantinya yang akan dilakukan oleh pemerintah Halteng ini umpama di kabulkan di pengadilan apakah masyarakat Bicoli akan terima? Ada apa dibalik segketa batas Haltim-Halteng ini? Soal kekayaan alamnya atau rencana pemekaran kabupaten baru?
Masalah tapal batas membuat nilai-nilai Fagogoru dan Sangrabuba akan tenggelam di air yang keruh berbauhkan tanah dan bangkai dari daging manusia yang menyembunyikan kebenaran dengan sengaja demi kesenangan dunia.
Gamrange kapan kata Fagogoru ini hadir membingkai Haltim-Halteng jika selama ini kita dipersoalkan mengenai batas daerah. Kapan masalah ini akan berahir? Apa perlu Sakakube dijadikan padang Karbala baru akan ditemukan  titik terang dari batas kedua Kabupaten?
Saya bukan siapa-siapa tetapi harapan saya secara pribadi agar keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor 84 tahun 2018 ini di terima oleh pemerintah dan masyarakat Halteng demi merawat hubungan kekeluargaan dan perdamaian. Semoga harapan baik ini bukan cuman harapan saya tapi harapan kita semua.