Senin, 12 Agustus 2019

WOSO SENTRAL PERTAHANAN DAN PEMERINTAHAN DI ABAD 19

WOSO SENTRAL PERTAHANAN DAN PEMERINTAHAN DIABAD 19

(Menyambut hari kemerdekaan Indonesia ke 74 tahun)

Oleh
Aton Bagaskara Jafar
Mahasiswa CIVIC HUKUM PIPS-PKn FKIP UNKHAIR

Woso adalah daerah perbukitan disekitar desa Bicoli Kabupaten Halmahera Timur yang jaraknya dua kilo meter dari pantai. sekarang Bicoli dalam sebutan bahasa derah disebut Woso, dengan begitu Woso sudah berarti Bicoli. Sedangkan daerah perbukitan yang menjadi tempat pertahanan dan pemerintahan secara eksplisit dalam bahasa daerah disebut lolos soso, lolos yang berarti gunung atau bukit. Sementara soso dan Woso berasal dari kata fowos yang berarti pelarian.

Didalam disertasi Prof. Dr. R. Z. Leirissa (1996:184) dikatakan Woso terletak agak tinggi diperbukitan tetapi berdekatan sekali dengan Bicoli yang merupakan  pelabuhan utama di distrik Maba.

Zainalabidin di Woso diperkirakan pada tahun 1808. Munculnya negeri Woso sebagai pusat kekuasaan baru di distrik Maba dengan sangaji sendiri merupakan pergeseran yang cukup penting di wilayah Maba.

Disekeliling Woso Zainalabidin membangun beberapa perbentengan tradisional berupa tembok lurus kira-kira setinggi dada terbuat dari batu karang dan dilapisi semacam perekat terbuat dari kapur hasil bakaran kerang, terdapat tidak kurang tiga  benteng serupa itu, dan sebuah benteng lagi ke arah laut. Salah satu diantara benteng-benteng itu dijaga oleh pasukan yang dilengkapi dengan sebuah rumah dan meriam kaliber 1 pon (1996:184)

Perbentengan di Woso-Bicoli perna mengalami kemunduran karena berjangkitnya penyakit cacar yang mengakibatkan banyak orang meninggal dunia. Selain itu terjadi bahaya kelaparan karena kekurangan beras dan jagung, disebabkan selama peperangan dan pembangunan benteng-benteng, penduduk tidak sempat mengurusi kebun, sedangkan sagu sangat kurang disekitar Woso/Bicoli. Namun keadaan pulih kembali sehingga ekspedisi yang dikirim pada bulan maret 1809 tidak berhasil mengalahkan Woso. Ekspedisi ini gagal dan ditarik kembali pada bulan Juni karena sebagian kontingen Galela membangkang dan menolak turut menyerang dalam serangan terakhir, alasan mereka Woso terlalu kuat (1996:186).

Benteng dan persenjataan di Woso sanggup menahan serbuan pasukan Ternate yang diperkuat dengan pasukan Belanda. Selama  enam bulan Herder menyerang Woso sebanyak empat kali tanpa berhasil. Akhirnya pasukan itu terpaksa mundur karena kontingen Ternate menolak meneruskan pertempuran. Demikian pula ekspedisi kedua yang dilakukan tahun 1808 yang dipimpin kapten  Heyes selama beberapa bulan akhirnya mundur dibulan Oktober karena Halmahera dan Ternate menolak meneruskan perang (1996:182).

Negeri Woso yang demikian kuat sistem pertahanannya itu berfungsi sebagai pusat kekuasaan Zainalabidin di Halmahera Timur dalam rangka memperjuangkan kedudukannya di kerajaan Tidore, atau seperti tertera dalam surat para bobato negeri Woso tertanggal 16 Februari 1809, “negeri Tidore ada di Woso”. 

Pada tahun 1808 Sangaji Patani dan sangaji Weda dengan kapten Herder mengerahkan penduduk Patani dan Weda menebang pohon pala disekitar hutan Waci dan Gotowasi. Zainalabidin tidak terimah dengan penebangan pohon pala itu maka dalam bulan Mei ia mengadakan serangan ke Patani. Serangan pertama dilakukan awal bulan itu dengan 18 kora-kora dengan persenjataan satu pucuk meriam rantak dan 11 pucuk senapan serta 120 butir puluru dan serbuk mesiunnya. Negeri Patani ketika itu dibakar dan penduduknya melarikan diri ke hutan. Ketika itu Sangaji Sahusen Kapitan Laut Naimuddin bersama 28 orang Patani lainnya cedera dan dua bobato lainnya serta dua orang biasa gugur. Sangaji Sahusun lalu menyurat ke Weiling minta bantuan. Namun, Belanda hanya mengirim dua meriam kecil kaliber setengah pon dan 10 butir pelurunya. Selain itu Kapitan Laut Weda diperintahkan untuk mengerahkan penduduk Weda membantu Patani (1996:188).

Pada awal Agustus Zainalabidin memerintahkan armadanya yang berkekuatan 16 kora-kora dengan pimpinanan Sadaha Hadi menyerang Patani untuk kedua kalinya. Sangaji Sahusen dan Kapitan Laut Naimuddin serta bekas Sangaji Mancari tertangkap. Serangan ini dilakukan secara mendadak ketika Kimalaha Dewara mengadakan selamatan untuk penduduk negeri Patani. Armada Woso bergerak dari pulau Sagaf, orang yang sedang berpesta lari ke pegunungan. Sambil menunggu bantuan dari Ternate, Sahusen, dan Naimuddin berusaha mengobarkan semangat penduduk untuk melawan. Namun armada Woso terus memblokade Patani sehingga timbul bahaya kelaparan. Akibat blokade ini penduduk berangsur-angsur turun dari pegunungan dan menyerahkan diri kepada armada Woso. Mereka kemudian diangkut ke Woso sebagai tawanan. Juga Sahusen, Naimuddin, Mancari, Kimalaha Omrot Tapileu diangkat sambil dirantai ke Woso. Kemudian Sangaji Mancari yang dianggap biang keladi kerjasama Patani dan Belanda dihukum mati oleh Zainalabidin. Sahusen dan Naimuddin bisa bebas karena sanggup menebus dirinya; Sahusen menyerakan 10 budak dan sebuah gelas emas, dan Naimuddin menyerahkan 54 budak dan sebuah rantai emas kepada Zainalabidin (1996:189).

Sehingga ketika armada Ternate dengan pemimpin Jugugu Muda Patisarangan tiba di Patani, negeri itu telah kosong. Armade Ternate kemudian menyerbu Woso dan berhasil membebaskan Kimalaha Omrot Tapileu serta sejumlah penduduk Patani. Sebagian dari penduduk Patani diharuskan berdiam di Weda menunggu keadaan aman, Weda pun diperkuat dengan pimpinan Kimalaha Wastur yang diberi sejumlah senjata. Tidak lama kemudian Weda mengalami Musibah pula. Zainalabidin terus berusaha mempengaruhi penduduk Weda untuk memihak padanya. Untuk itu ia menggunakan Sangaji Pulau Gebe, Kacipel, dan Kimalaha Sanafi, juga dari Gebe serta seorang juru tulisnya yang bernama Tukangmas. Para utusan tersebut bertemu dengan perahu Kapitan Laut Lukman di Tanjung Kiat. Kedua bobato Gebe tersebut turun berbicara dengan Lukman, mereka mengajak para bobato Weda ke Woso dan kemudian bersama Zainalabidin ke Ternate untuk menuntut agar Belanda mensahkan Zainalabidin sebagai Sultan Woso (1996:190).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar