FAGOGORU DAN
SENGKETA TAPAL BATAS HALTIM-HALTENG
Oleh:
Aton Bagaskara Jafar
Sekretaris Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bicoli
Fagogoru berarti kasih sayang atau dalam
sebuatan hari-hari bakusayang. Kata
fagoguru merupakan warisan leluhur Maba, Patani dan Weda yang menjadi spirit
moral dalam pergaulan sosial. Kata fagogoru juga dapat dianggap sebagai warisan
leluhur yang cemerlang dan menjadi instrumen kita untuk menjaga hubungan
kekeluargaan yang cukup besar yang merangkul dari Maba sampai Weda.
Kata fagogoru sepadan dengan kalimat “sopan re hormat, ngaku rasai budi re bahasa”
yang disingkat SANGRABUBA yang menjadi moto Desa Bicoli yang tertulis rapih di
batas desa Bicoli dan Kasuba dengan kalimat “Woso SANGRABUBA”. Kalimat sopan re hormat menjadi spirit pergaulan
yang menata hidup sarat dengan nilai-nilai moral dan etika, dan kalimat ngaku rasai budi re bahasa membuat kita
lebih emosional dan memiliki rasa empati antar sesama, sehingga menata perlakuan
dan bahasa terhindar dari yang tidak baik. Kalimat Sangrabuba suda familiar di
negri Gamrange dan kemungkinan merupakan turunan dari semangat Fagogoru yang di
wariskan oleh leluhur Maba, Patani dan Weda.
Semangat Fagogoru dan Sangrabuba
sekarang hilang dan tergadaikan dengan persoalan batas antara Haltim dan
Halteng; Bicoli dan Sakam/Piniti.
Masalah tapal batas suda muncul sejak awal pemekaran hingga sekarang ini.
Masalah tapal batas pernah memancing
reaksi masyarakat Bicoli sehingga digerakkan dua belas perahu giop penuh dengan
manusia yang diberangkatkan ke Sakam, dan isu Bupati Rudi menandatangani
kesepakatan batas Kabupaten yang berakhir pada pengrusakan kantor Bupati Haltim
pada tahun 2015 lalu, dan masi ada beberapa rentetan peristiwa yang ikut
mewarnai masalah tapal batas Haltim-Halteng.
Dalam sengketa tapal batas
Haltim-Halteng, masyarakat Bicoli menjadi energi penggerak utama dalam
mempertahankan tapal batas Haltim karena didasari oleh sejarah dan kepemilikan
tanah, yang semangat ini menjadi perhatian dan aspirasi yang kemudian di
perjuangkan oleh pemerintah Kabupaten Haltim.
Berdasarkan sejarah bahwa batas Peniti
dan Bicoli adalah di kali Get, kali Get ini dinamkan oleh orang Bicoli yang
berarti sempit karena perahu kora-kora tidak bisa masuk kedalam, catatan
sejarah ini tertulis pada surat kesepakatan batas yang ditanda tangani oleh
kepala Desa Peniti dan Desa Bicoli yang saat itu kepala desa Bicoli masi
dipimpin oleh Bapak Hi. Ishak Karim yang surat itu kemudian disimpan oleh
Sangaji Bicoli Almarhum Muhammad Ceba, dan soal kepemilikan tanah itu suda
diperkuat dengan dimekarkan Desa Sowoli yang tidak jauh dengan kali Get dengan
desa induk desa Bicoli.
Batas Haltim-Halteng ini mendapat
perhatian dari Sultan Tidore, dan Sultan Tidore menempatakan di Sakakube
(sekitar kali Get), hal ini mendapat dukungan dari masyarakat Bicoli karena
meletakaan posisi batas pada batas yang sudah ada sebelumnya. Namun terjadi
perbedaan pemahaman ketika pemerintah Provinsi Maluku Utara menentukan batas
Haltim dan Halteng di Nyenyendono.
Dua keputusan ini tidak mengahiri
masalah batas Haltim-Halteng karena terdapat dua keputusan yang berbeda.
Sekarang setelah ada Keputusan Mentri
Dalam Negri Nomor 84 tahun 2018 tentang Tapal batas Haltim-Halteng yang
menempatkan batas Haltim-Halteng di Sakakube pemerintah Halteng tidak terima,
sebagaimana yang tertulis dalam media online koridorzine.com yang berjudul
Pemkab Halteng tolak Permendagri tapal batas, bahwa Pemkab Halteng akan gugat ke PTUN; “Muhammad Konoras yang akan menjadi kuasa hukum pemda, kalau
sudah berkordinasi dan sudah siap secepatnya akan mengguat ke PTUN” ujar Bupati
Edi Langkara.
Pemerintah Halteng beranggapan bahwa
penempatan ini tidak sesuai dengan UU No 1 tahun 2003 tentang pemekaran
Kabupaten Haltim-Halteng dan beberapa kabupaten lainnya di Maluku Utara.
UU No 1 Tahun 2003 jika dibuka tidak ada
pasal yang menjelaskan secara jelas posisi batas itu berada. Terus dalil
penempatan batas Haltim-Halteng di Sakakube tidak sesuai dengan UU No 1 Tahun
2003 itu pasal berapa? Dan kalau gugatan yang nantinya yang akan dilakukan oleh
pemerintah Halteng ini umpama di kabulkan di pengadilan apakah masyarakat
Bicoli akan terima? Ada apa dibalik segketa batas Haltim-Halteng ini? Soal kekayaan
alamnya atau rencana pemekaran kabupaten baru?
Masalah tapal batas membuat nilai-nilai
Fagogoru dan Sangrabuba akan tenggelam di air yang keruh berbauhkan tanah dan
bangkai dari daging manusia yang menyembunyikan kebenaran dengan sengaja demi kesenangan
dunia.
Gamrange kapan kata Fagogoru ini hadir
membingkai Haltim-Halteng jika selama ini kita dipersoalkan mengenai batas
daerah. Kapan masalah ini akan berahir? Apa perlu Sakakube dijadikan padang
Karbala baru akan ditemukan titik terang
dari batas kedua Kabupaten?
Saya bukan siapa-siapa tetapi harapan
saya secara pribadi agar keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor 84 tahun 2018 ini
di terima oleh pemerintah dan masyarakat Halteng demi merawat hubungan
kekeluargaan dan perdamaian. Semoga harapan baik ini bukan cuman harapan saya
tapi harapan kita semua.