Selasa, 19 Maret 2019

FAGOGORU DAN SENGKETA TAPAL BATAS HALTIM-HALTENG


FAGOGORU DAN
SENGKETA TAPAL BATAS HALTIM-HALTENG
Oleh:
Aton Bagaskara Jafar
Sekretaris Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Bicoli

Fagogoru berarti kasih sayang atau dalam sebuatan hari-hari bakusayang. Kata fagoguru merupakan warisan leluhur Maba, Patani dan Weda yang menjadi spirit moral dalam pergaulan sosial. Kata fagogoru juga dapat dianggap sebagai warisan leluhur yang cemerlang dan menjadi instrumen kita untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang cukup besar yang merangkul dari Maba sampai Weda.
Kata fagogoru sepadan dengan kalimat “sopan re hormat, ngaku rasai budi re bahasa” yang disingkat SANGRABUBA yang menjadi moto Desa Bicoli yang tertulis rapih di batas desa Bicoli dan Kasuba dengan kalimat “Woso SANGRABUBA”. Kalimat sopan re hormat menjadi spirit pergaulan yang menata hidup sarat dengan nilai-nilai moral dan etika, dan kalimat ngaku rasai budi re bahasa membuat kita lebih emosional dan memiliki rasa empati antar sesama, sehingga menata perlakuan dan bahasa terhindar dari yang tidak baik. Kalimat Sangrabuba suda familiar di negri Gamrange dan kemungkinan merupakan turunan dari semangat Fagogoru yang di wariskan oleh leluhur Maba, Patani dan Weda.
Semangat Fagogoru dan Sangrabuba sekarang hilang dan tergadaikan dengan persoalan batas antara Haltim dan Halteng;  Bicoli dan  Sakam/Piniti. Masalah tapal batas suda muncul sejak awal pemekaran hingga sekarang ini.
Masalah tapal batas pernah memancing reaksi masyarakat Bicoli sehingga digerakkan dua belas perahu giop penuh dengan manusia yang diberangkatkan ke Sakam, dan isu Bupati Rudi menandatangani kesepakatan batas Kabupaten yang berakhir pada pengrusakan kantor Bupati Haltim pada tahun 2015 lalu, dan masi ada beberapa rentetan peristiwa yang ikut mewarnai masalah tapal batas Haltim-Halteng.
Dalam sengketa tapal batas Haltim-Halteng, masyarakat Bicoli menjadi energi penggerak utama dalam mempertahankan tapal batas Haltim karena didasari oleh sejarah dan kepemilikan tanah, yang semangat ini menjadi perhatian dan aspirasi yang kemudian di perjuangkan oleh pemerintah Kabupaten Haltim.
Berdasarkan sejarah bahwa batas Peniti dan Bicoli adalah di kali Get, kali Get ini dinamkan oleh orang Bicoli yang berarti sempit karena perahu kora-kora tidak bisa masuk kedalam, catatan sejarah ini tertulis pada surat kesepakatan batas yang ditanda tangani oleh kepala Desa Peniti dan Desa Bicoli yang saat itu kepala desa Bicoli masi dipimpin oleh Bapak Hi. Ishak Karim yang surat itu kemudian disimpan oleh Sangaji Bicoli Almarhum Muhammad Ceba, dan soal kepemilikan tanah itu suda diperkuat dengan dimekarkan Desa Sowoli yang tidak jauh dengan kali Get dengan desa induk desa Bicoli.
Batas Haltim-Halteng ini mendapat perhatian dari Sultan Tidore, dan Sultan Tidore menempatakan di Sakakube (sekitar kali Get), hal ini mendapat dukungan dari masyarakat Bicoli karena meletakaan posisi batas pada batas yang sudah ada sebelumnya. Namun terjadi perbedaan pemahaman ketika pemerintah Provinsi Maluku Utara menentukan batas Haltim dan Halteng di Nyenyendono.
Dua keputusan ini tidak mengahiri masalah batas Haltim-Halteng karena terdapat dua keputusan yang berbeda.
Sekarang setelah ada Keputusan Mentri Dalam Negri Nomor 84 tahun 2018 tentang Tapal batas Haltim-Halteng yang menempatkan batas Haltim-Halteng di Sakakube pemerintah Halteng tidak terima, sebagaimana yang tertulis dalam media online koridorzine.com yang berjudul Pemkab Halteng tolak Permendagri tapal batas, bahwa Pemkab Halteng akan gugat ke PTUN; “Muhammad Konoras yang akan menjadi kuasa hukum pemda, kalau sudah berkordinasi dan sudah siap secepatnya akan mengguat ke PTUN” ujar Bupati Edi Langkara.
Pemerintah Halteng beranggapan bahwa penempatan ini tidak sesuai dengan UU No 1 tahun 2003 tentang pemekaran Kabupaten Haltim-Halteng dan beberapa kabupaten lainnya di Maluku Utara.
UU No 1 Tahun 2003 jika dibuka tidak ada pasal yang menjelaskan secara jelas posisi batas itu berada. Terus dalil penempatan batas Haltim-Halteng di Sakakube tidak sesuai dengan UU No 1 Tahun 2003 itu pasal berapa? Dan kalau gugatan yang nantinya yang akan dilakukan oleh pemerintah Halteng ini umpama di kabulkan di pengadilan apakah masyarakat Bicoli akan terima? Ada apa dibalik segketa batas Haltim-Halteng ini? Soal kekayaan alamnya atau rencana pemekaran kabupaten baru?
Masalah tapal batas membuat nilai-nilai Fagogoru dan Sangrabuba akan tenggelam di air yang keruh berbauhkan tanah dan bangkai dari daging manusia yang menyembunyikan kebenaran dengan sengaja demi kesenangan dunia.
Gamrange kapan kata Fagogoru ini hadir membingkai Haltim-Halteng jika selama ini kita dipersoalkan mengenai batas daerah. Kapan masalah ini akan berahir? Apa perlu Sakakube dijadikan padang Karbala baru akan ditemukan  titik terang dari batas kedua Kabupaten?
Saya bukan siapa-siapa tetapi harapan saya secara pribadi agar keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor 84 tahun 2018 ini di terima oleh pemerintah dan masyarakat Halteng demi merawat hubungan kekeluargaan dan perdamaian. Semoga harapan baik ini bukan cuman harapan saya tapi harapan kita semua.