SEJARAH AWAL DESA BICOLI DAN
BUDAYA MAKAN BERSAMA SEBAGAI MEDIA
PEMERSATU
TIGA SUKU (MCOLI, INGLI DAN SAMAFU)
Oleh:
Aton Bagaskara Jafar
Di buat guna memenuhi tugas mata kuliah
Hukum adat dan kearifan lokal
Catatan sejarah ini diperoleh dari hasil
percakapan dengan
Tete Wahap Ismail, Tete Salasa Abbas, Tete
Sebau Kasturi dan Tete Ikbal Hasan
Sejarah awal desa
Bicoli tidak terpisahkan dari cerita Jafar Sadek ke kayanganˡ untuk menemui
istrinya, karena dari cerita ini kita mewacanakan tentang terbentuknya pulau
Halmahera dan negeri pertama di pulau Halmahera, Menurut Kapita Lao Kesultanan
Ternate yang namanya tidak sempat di ingat oleh Tete Wahab Ismail waktu
berbincang-bincang dengannya, Beliau katakan bahwa negeri pertama di pulau
Halmahera adalah Bicoli karena nama Bicoli² menggunakan awalan “BI” yang dimana
relasi dengan kalimat pertama dalam setiap ayat Alquran yang menggunakan awalan
“BI” yakni “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”.
Setelah terbentuknya
pulau Halmahera dan suda berpenghuni, di Bicoli hidup suatu mahluk yang dapat
berbentuk gaib dan dapat berbentuk manusia, Dia adalah Momole Mancabo Tokoh
legendaris dan sangat diagung-agungkan oleh masyarakat Bicoli hingga kini.
Selain di Bicoli yang berpenghuni ada juga beberapa tempat yang suda didiami oleh
manusia yaitu di daerah pertengahan Patlean dan Jara-jara yang di kenal dengan
Soa Mcoli dan ada yang bertempat di Paga yang kemudian di kenal dengan Soa
Ingli.
ˡ
Dulu sebelum adanya pulau Halmahera hidup seorang
pria bernama Jafar Sadek yang pada suatu hari tidak sengaja melihat tujuh
bidadari sedang mandi. Maka Jafar Sadek pun langsung mengambil satu di antara
tujuh selendang sehingga satu bidadari tidak bisa terbang ke kayangan maka hal
itu mengaharuskan bidadari itu untuk hidup di bumi dan menikah dengan Jafar
Sadek. Dengan berjalannya waktu mereka dikaruniai beberapa anak dan pada saat
istri Jafar Sadek akan menyusui anak yang paling bungsu sambil berbaring dia
melihat selendangnya yang di ambil oleh Jafar Sadek yang disembunyikan di atap
rumah, maka dengan segera istri Jafar Sadek mengambil selendang itu dan
terbang ke kayangan. Dari kepergian istrinya membuat Jafar Sadek menangis dan
didengar oleh Momole Mancabo atau Momole Kie Gapi, maka Momole ini mendekati
Jafar Sadek dan bertanya “apa yang kamu tangisi?” Jafar Sadek menjawab
“istriku suda menemukan selendangnya dan telah balik ke kayangan”, dari
jawaban Jafar Sadek membuat Momole merasa empati dan berkeinginan untuk
membantu. Maka Momole katakana pada Jafar Sadek “Saya dapat membantumu asalkan
dalam perjalanan kamu menutup mata” Jafar Sadekpun mengiyakan apa yang
dikatakan oleh Momole. Sehingga Momole berubah menjadi burung elang dan
dinaiki oleh Jafar Sadek untuk terbang ke kayangan. Dalam awal perjalanan
Jafar Sadek menutup mata, cuman karena perjalanannya agaklama membuat Jafar
Sadek penasaran sehingga Jafar Sadek
membuka mata, dari sikap itu maka jatulah sepenggal tanah yang kemudian di
sebut Halmahera.
²
Nama desa Bicoli ada yang mengatakan permberian dari salah satu Jenderal dari
Portugis yang asal katanya “Beach Oil” yang berarti pantai minyak. Nama ini
bukan maksud besarkan sejarah, karena nama ini dapat dibuktikan
dengan suatu wilaya di ujung perbatasan Sangaji Bicoli dan Sangaji Patani ada
satu daerah yang masyarakat Bicoli menyebutnya ”Wom Yeget” atau kolam minyak,
kolam itu berminyak dan berlokasi dekat dengan pantai. Jadi nama Beach Oil ini
untuk menandai tempat. Nama desa Bicoli dalam penyebutan bahasa daerah adalah
Wowso yang berarti “pelarian”; pelarian yang di lakukan oleh Soa Mcoli dan Soa
Samafu.
1
|
Di
ceritakan dulu sebagian Suku Mcoli melakukan perjalanan dari lokasi asalnya
dipertengahan Jara-jara dan Patlean menuju Pulau Morotai untuk Bahalo (Mengolah serat pohon sagu menjadi
tepung sagu). Jadi yang melakukan perjalanan ini adalah Ngofaredue dan ayahnya
dan beberapa teman dari ayah Ngofaredue. Mereka melakukan perjalanan dan
setibanya di Morotai ayah Ngofaredue dan teman-temannya langsung masuk ke hutan
dan Ngofaredue diberi tugas untuk menjaga perahu. Ngofaredue menuruti perintah
ayahnya dan selalu dipantai dan tidak jauh dari perahu, saat menjaga perahu
Ngofaredue duduk di pasir tiba-tiba datang seekor ikan Hiu besar dan bertanya
ke Ngofaredue “apa yang kamu lakukan disitu?” jawab Ngofaredue “Sedang menunggu
ayahku” balas ikan Hiu “kalau seperti itu, ambilkan tali, ada yang mau saya
berikan” Ngofaredue langsung naik pohon kelapa dan membuat tali dari pelepah
kelapa, setelah talinya selesai di buat Ngofaredua memberitahukan kepada ikan
Hiu bahwa tali suda selesai dibuatnya. Ikan Hiu menyuruh Ngofaredua untuk
mengangkat tali biar ikan Hiu dapat melihat panjang tali yang dibuat, setelah
dilihat, ikan Hiu kembali ke laut lepas, setelah beberapa menit ikan Hiu
kembali dengan membawa ikan yang banyak yang kemudian dilempar ke pesisir
menggunakan ekornya. Ngofaredue langsung mengambil satu persatu ikan yang
berserakan di pesisir pantai. Hal ini berulang terus selama Ngofaredue di
Morotoi, dan pada suatu hari ikan Hiu bertanya ke Ngofaredue “kapan kalian akan
pulang?” jawab Ngofaredue “Hari jumat” balas ikan Hiu “Kalau kalian pulang pada
hari jumat, kalian harus siapkan penggayung yang lebih besar karna cuaca pada
hari itu tidak baik”. Mendengar ramalan dan saran dari ikan Hiu itu Ngofaredua
sampaikan kepada ayahnya dan teman-teman dari ayahnya sebelum mereka berangkat,
maka mereka membuat penggayung yang lebih besar, setelah semunaya siap mereka
langsung memutuskan untuk melakukan perjalanan untuk kembali. Dalam perjalanan
ternyata benar apa yang dinujumkan oleh ikan Hiu itu. Lautan sangat tidak
bersahabat, angin, hujan dan gelombang mewarnai perjalanan, ikan Hiu melihat
hal itu langsung membatu mereka dengan menggunakan siripnya untuk mengarahkan
dan mendorong mereka tetap pada arah yang benar. Berkat bantuan ikan Hiu itu
mereka sampai dengan selamat di pelabuhan Suku Mcoli, setelah sampai mereka
mengikat perahu di tiang pelabuhan dan langsung mengangkat barang-barang dalam
perahu untuk di bawah ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan ke ruma ada
beberapa pemuda yang jalan-jalan ke pelabuhan tidak sengaja melihat ikan Hiu
besar itu dan mereka ingin membunuhnya untuk dimakan dagingnya, tetapi sebelum
mereka melakukan tindakan itu ayah Ngofaredue menghentikan tindakan mereka
sebelum mereka lukai ikan Hiu, ayah Ngofaredue sampaikan kepada mereka tanpa
bantuan dari ikan Hiu ini kami belum tentu sampai disini dengan selamat,
setelah bercakap-cakap ayah Ngofaredue mengambil kain putih dan mengikat di
sirip ikan Hiu, dan ikan Hiu itupun langsung kembali ke lautan lepas. Setelah
kepergian ikan Hiu itu tidak lama di temukan seekor ikan Lado besar terdapar di
pesisir pantai dan masyarakat berbodong-bondong memotong ikan itu dan dibagikan
untuk dimasak, padahal ikan lado yang dipotong dagingnya itu bukan ikan biasa
tetapi ikan yang didalam dirinya hidup mahluk gaib, yakni jin, jadi jin dari
ikan Lado ini masuk kampung dengan wujud seperti manusia. Jin ikan lado ini
menghampiri sukumpulan penduduk Mcoli dan bertanya “Giga fan bena?”/ ikan lado
kalian makan? Mereka menjawab “Iiii giga fan bena”/ Iya ikan Lado kami makan.
Mendengar jawaban itu jin ikan lado berjalan meninggalkan mereka, setelah
melewati mereka perkumpulan itu langsung tenggelam menyatu dengan lautan. Jin
ikan lado itu terus
2
|
melakukan perjalanan, dan dia menemukan perkumpulan dari
suku Mcoli lagi dan dia memberikan pertanyaan yang sama seperti kelompok
pertama dan merekapun memberikan jawaban
yang sama maka jin ikan lado itu berjalan meninggalkan mereka dan mereka juga
tenggelam seperti kelompok yang pertama. Jin ikan lado terus melakukan
perjalanan dan dia bertemu sepasang keluarga dan bertanya “giga fan bena?”/ikan
lado kalian makan? Mereka menjawab “giga ton pa, sir teneit pa”/kami tidak
makan ikan lado, mereka tidak berbagi dengan kami. Mendengar jawaban itu, jin
ikan lado menjawab “page fetetelia, mew fowos na lolos Marafulas”/ kalau
bagitu, kalian harus lari ke gunung Marafulas. Jin ikan lado menyuruh mereka
pergi karena daerah itu akan tenggelam, maka merekapun lari ke gunung Marafulas,
setelah aman mereka menyusuri sebagian pesisir pulau Halmahera untuk mencari
tempat tinggal yang baru, dan sampailah mereka di Bicoli, tepatnya di belakan
rumah Om Hamid yang berhadapan dengan luasnya mnyewe (Batu karang yang luasnya mendekati 1 km yang posisinya agak
sedikit terpisah dengan batukarang di pesisir). Mereka mumutuskan untuk tinggal
di Bicoli karena pesisir pantai Bicoli terbentang batukarang yang panjangnya ±4
km (Dari ujung desa Bicoli sampai ujung desa Kasuba) dan lebarnya berfariasi 50
dan 60 meter, jika dihitung lebar myewe sampai
ke pesisir ±1 km lebih. Dan batu karang ini menjadi tempat tinggal berbagai
macam binatang laut sehingga menjadi tempat yang pas untuk melangsungkan
kehidupan. Maka suku Mcoli langsung ke mnyewe
mencari bia (Kerang/Tiram) untuk
dimakan, mereka membuat api di mnyewe untuk memasak kerang, saat memasak kerang
asap dari pembakaran itu di lihat oleh suku Ingli yang bertempat tinggal di
Paga tetapi saat itu ada melakukan perjalanan ke bicoli dan mereka melihat asap
dari hasil pembakaran kerang yang dibuat oleh suku Mcoli dari Jere (Kini menjadi tempat makam Sultan
Mohammad Zainal-Abidin 1805 – 1810 Sultan Tidore ke 30). Dari hal itu beberapa
orang di suku Ingli ada yang katakan kepada teman-temannya “Bagaimana kalau
kita kesana membunuh mereka?” dan satu di antra mereka menjawab “kita jangan
membunuh meraka, kita liat dulu kalau mereka orang baik-baik kita makan
bersama-sama”. Maka mereka mendekati suku Mcoli dengan niat untuk saling kenal,
ternyata suku Mcoli ini suku yang baik, maka mereka memutuskan untuk makan
bersama-sama, di sela-sala makan bersama-sama ternyata datang lagi satu suku
yang menghampiri, suku ini adalah suku Samafu atau Smowo, suku ini adalah suku
perantau yang menurut pendapat orang tua-tua ada yang katakan mereka dari
Jailolo atau Tidore atau kedua-duanya. Maka ketinga suku ini makan bersama-sama
dan saling kenal, suasana sangat hangat sampai tidak mau berpisah, mereka
memutuskan untuk membangun suatu perkampungan, maka disini terjadi musyawara,
ada yang menyarankan kampung harus di bangun di daerah yang sekarang suda
menjadi desa Kasuba, tetapi ada yang tidak mau, yang tidak mau ini memiliki
ilmu nujum karna nujumnya pernah terbukti dan sebagian nujumnya melakat hingga
sekarang³.
³ᴬ Terbuti
tahun 1997/1998 perna penduduk yang tinggal di daerah yang sekarang suda menjadi desa Kasuba banyak terkena wabah yang menarik
perthatian dari berbagai kalangan, dalam satu ruma jika ditinggali 5 orang yang
meninggal ada yang sampai 4 dan 3 orang, peristiwa ini menarik simpati
desa-desa tetangga untuk mengirimkan makanan kebun, baik itu dari Wayamli, Maba
dan beberapa desa lainnya.
³ᴮDan
yang memegang kendali perikanan Di Bicoli yang hasil tangkapannya hampir di
jual di separuh wilayah Halamahera Timur; Kec. Maba Selatan, Kec. Maba Kota,
Kec. Maba Tegah, Kec. Maba Utara dan sebagian wilayah Halmahera Tegah adalah
masyarakat Kasubah. Sementara kebanyakan masyarakat Bicoli perlu dipertanyakan
apa pekerjaan mereka? Tidak ada pekerjaan tetap, mau di bilang petani juga
tidak, nelayan juga tidak.
3
|
Dia tidak
mau dengan alasan jika membangun perkapungan di daerah yang sekarang suda menjadi wilayah Desa Kasuba kita akan mudah terkena penyakit,
jika membangun perkampungan di daerah yang sekarang suda menjadi wilayah Desa Bicoli
itu masi sedikit sulit penyakit masuk, tidak semudah seperti di Kasuba, dan dia
tambahkan lagi, jika membangun rumah di atas (Daerah
sekitar Kasuba)
kelebihannya rejeki lebih banyak masuk dari pada di bawah (Daerah
sekitar Bicoli).
Yang nujum ini
sebenarnya melihat posisi tanjung jafatpopo,
lanjut Beliau tanjung itu dapat menghalagi angin yang membawa penyakit
sekaligus rejeki dari luar, cuman sayangnya tanjung itu yang sekaligus bukit
tidak terlalu tinggi untuk menghalagi penyakit yang dapat memasuki daerah
sekitar Kasuba, dan bukit itu tidak terlalu pendek untuk memasukan rejeki di
daerah sekitar Bicoli. Dan hasil dari musyawarah tiga suku itu memutuskan untuk
membangun daerah disekitar bicoli dengan memanjang ke arah Kasuba.